Kamis, 13 September 2007

MELIHAT KE DEPAN & BERPIKIR KE DALAM

Saat kita menempuh sebuah perjalanan hidup, kita harus mempunyai tujuan tentunya. Namun sebelumnya, sudahkan kita berpikir ke dalam dan mempertanyakan tujuan, harapan dan apa yang ingin kita capai dalam hidup? Benarkah hal tersebut menjadi tujuan kita?

Berpikir tentang visi, tujuan, harapan saya analogikan di sini sebagai melihat ke depan. Saat kita melihat ke depan, kita dapat melihat arah dan tujuan kita walaupun terkadang samar ataupun saat kita melihat lebih jelas lagi ternyata jalan yang kita tempuh salah. Dengan melihat ke depan, kita dapat bergeak, mulai melangkah dan menentukan langkah.

Mempertanyakan apa yang menjadi tujuan kita, kemampuan kita, dan sebagainya yang membutuhkan pemikiran filosofis, kalkulatif atau terkadang perasaan, dapat saya analogikan sebagai berpikir ke dalam. Dengan berpikir ke dalam, terkadang memang menggoyahkan tujuan dan memberikan kebimbangan. Namun dalam kebimbanganlah kita menentukan pilihan dan semakin yakin dengan arah yang di tempuh.

Saya pernah bercita-cita menjadi seorang atlet renag ketika berumur awal belasan. Dengan dunia renang yang saya tempuh, saya yakin sekali dengan kemampuan saya dan masa depan saya menjadi seorang atlet renang. Namun, dengan bertambahnya usia, saya semakin mempertanyakan pada diri saya “ apakah saya benar-benar ingin menjadi seorang atlet renang?”. Setelah lama berpikir ke dalam, maka keputusan yang saya ambil adalah meninggalkan dunia yang telah lama saya geluti. Sulit memang untuk rutinitas yang saya jalani semenjak kecil dan memulai dunia yang baru. Terlebih lagi, hal tersebut saya putuskan ketika saya belum berusia dewasa benar. Sayapun terkadang takut jika suatu saat nanti akan berubah pikiran dan cukup terambat untuk memulai lagi. Semakin dewasa, sayapun semakin memahami bahwa keputusan tersebut tepat dan saya bersyukur berani meningglakan dunia tersebut sebelum semakin sulit untuk melepasnya.

Sayapun kembaili meliha ke depan setelah berpikir ke dalam dan mempertanyakan apa sebenarnya yang menjadi harapan, tujuan dan apa yang saya harus lakukan dengan hidup ini, dengan dunia yang sangat saya cintai. SAYA INGIN SEMUA ORANG MEMPUNYAI KEBEBASAN BERPIKIR DAN BERPENDAPAT. Itulah yang terlintas dalam benak saya dan terus terlintas. Saat seseorang bertanya mengapa hal tersebut yang menjadi visi saya, ternyata kami sama-sama tahu bahwa tidak ada alasan yang cukup dramatis sehingga saya memilihnya menjaadi visi saya saat ini ( saya katakan saat ini karena memang bisa saja berubah dan saya tidak takut dengan perubahan visi). Perlukah kedramatisan ini? Tidak tentunya, karena hal tersebut adalah hal sederhana yang mungkin tidak kita miliki. “ Berpikir adalah awal dari tindakan, namun apa yang kita pikirkan belum tentu bebas dari belenggu ketakutan akan pikiran kita sendiri. Padahal, hanya yang ada dalam pikiranlah kebebasan total kita, perang logika, rasa dan kalkulasi yang menjadikannya keputusan untuk yakin bergerak. Semakin sedikit pilihan kita, semakin besar kemungkinan kita mengambil langkah yang salah”. Itulah jawaban sederhana saya saat itu.

Kembali ke topik semula, saya pikir, tidak perlu kita gengsi atau takut untuk merubah arah langkah, dan tujuan kita jika kita telah berpikir lagi ke dalam, menanyakan pada diri kita dan mempertanyakan segalanya. Karena semakin kita memilih, semakin pula kita yakin dan siap dengan pilihan kita untuk hidup ke depan.

Minggu, 02 September 2007

ACCEPT THE PAST

I`ts not your past because you can`t accept it……. I`ts your present, or maybe gonna be your future…. Badly, you’ll always stagnan because of it….

Sepertinya kita pernah menyimpan sesuatu yang belum selesai di masa lalu kita dan terus saja kita permasalahkan tanpa bisa kita menerimanya. Badly, kita mungkin tidak puas dan tidak memikirkan bagaimana menyelesaikannya. Mungkin seseorang pernah berbuat salah pada kita dan ego seorang manusia terkadang menuntut si pembuat salah untuk terus minta maaf dan menyalahkannya. Namun, pernahkah kita melihat, merasakan bagaimana si pembuat salah pernah memaafkan kita, pernah menangis karena kesalahan kita dan terus mendampingi kita saat kita kesal terhadapnya?

Aku adalah seorang perempuan yang pernah berada di posisi keduanya. Dengan track record yang suka berselingkuh, dan memagang teguh integritas perselingkuhan, tentu aku pernah ada di posisi tak temaafkan. L, someone in my past, mungkin tidak akan pernah memaafkan aku dan dia terus saja tidak mau bertegur sapa, bahkan melihat mataku sampai sekarang.

Aku juga pernah berada di posisi yang satunya lagi seperti yang aku katakan sebelumnya. Tapi aku telah memaafkan dia yang telah melakukan kesalahan, karena … aku berpikir bahwa hanya karena dimaafkanlah, seseorang akan mendapatkan pelajaran lebih banyak daripada tidak termaaafkan.

L, tidak memaafkan aku tentunya, sampai sekarang pun aku tidak peduli terhadap tidaktermaafkannya aku. Tepi seseorang yang pernah memafkan aku karena kasus yang sama membuat aku tidak pernah bisa melupakan apa saja yang telah seseorang tersebut berikan kepadaku. Dan karena seseorang tersebutlah aku belajar untuk bisa memeafkan seseorang. Belajar untuk bisa memberikan pelajaran yang terbaik untuk orang lain yang tidak bisa memaafkan dan tidak bisa memaafkan .

Apakah kita tidak bisa menerima kenyataan, kita bisa seenaknya saja menyalahkan seseorang tanpa ampun? Dan semakin membuatnya bingung bagaimana lagi cara meminta maaf dan terus saja menjadi sadokis dan masokis dengan saling membuka lagi luka yang seharusnya sudah tertutup oleh maaf dan menerima kenyataan.

Sabtu, 01 September 2007

TAKUT MEMULAI --> NYAMAN MENYALAHKAN DUNIA

Kita harus mulai lagi dari yang palin awal, kecuali jika kita ingin berputar selamanya dalam lingkaran tanpa memperoleh kemajuan yang berarti.

Francis Bacon (1561-1626)

Namun pertanyaannya adalah apakah kita berani memulai dari awal setelah sekian jauh kita melangkah walaupun kita sudah berkesimpulan bahwa langkah yang kita ambil tidak sesuai? Menurut yang saya lihat, banyak orang yang lebih setuju mengambil langkah yang salah dengan alasan bahwa dia sudah sejauh itu. Sejauh apa? Pertanyaan yang selalu saya layangkan . Bagaimana kita dapat berkesimpulan sudah terlalu jauh dari perjalanan awal?

Melihat pengalaman dan merasakan pengalaman seperti ini sudah tidak jarang. Mendengar alasan terlalu jauh dan tidak sanggup kembali, terdengar seperti suara seorang pengecut yang takut memulai lagi dari awal dan mereka mulai menyalahkan dunia terhadap apa yang dirasakannya. Terlalu sombong mengambil kesimpulan bahwa kita berjalan terlalu jauh. Perjalanan hidup bukankan dapat diulang, dipercepat, dan sangat panjang? Setua apa usia kita menempuh perjalanan hidup? Terlalu pengecut karena sepertinya menyalahkan dunia lebih kecil resikonya daripada bertanggungjawab atas hidup walau disalahkan oleh orang lain. KITA YANG MEMILIKI HIDUP BUKAN? KITA YANG SAMA-SAMA MENENTUKAN HIDUP BUKAN?

Mengapa harus takut memulai dari awal? Apakah merasa terlalu nyaman dengan menyalahkan keadaan? Padahal sudah jelas kita lihat kita hanya berada dalam lingkaran tanpa ada kemajuan yg berarti. Tidak lagikan kita mempunyai ambisi meraih apa yang kita mimpikan?

Kondisi ini mungkin saja bisa kita jadikan alat untuk menyalahkan orang lain, meminta perhatian orang lain, dan kita merasa bangga mempunyai permasalahan hebat. Sayang kawan, kita pasti tidak akan puas dengan menyalahkan orang lai bersenjatakan penderitaan kita. Kita hanyalah orang lumpuh pengemis sedekah perasaan. Kita akan kekurangan dengan penderitaan dan mulai menjadi masokis yang menyayat habis bekal keberanian untuk mulai lagi perjalanan dari awal. Kita mulai melebih-lebihkan dan semakin jauh dari mimpi-mimpi segar yang mungkin saja dekat dengan jalan yang seharusnya bisa kita mulai lagi….TAPI KITA HANYA ORANG YANG TERANJUR BANGGA DENGAN PENDERITAAN DAN NYAMAN DENGAN MENYALAHKAN KEADAAN DAN MENGEMIS-NGEMIS PERASAAN ORANG LAIN UNTUK MEMPERHATIKAN KITA LAGI….